Rabu, 13 April 2011

Minangkabau Eksportir Senjata abad 18

Sedikit orang yang tahu bahwa pada abad ke-18, Minangkabau sudah terkenal sebagai pembuat senapan dan mengekspor senapan beserta pelurunya pada bangsa asing seperti Portugis maupun pada Kerajaan Aceh.
Seorang Belanda yang berkunjung ke Sumatera Barat pada saat awal Perang Padri menulis: “Rakyat Minangkabau adalah orang yang berani, terlatih dalam perang, penembak yang jitu dan dalam menghadapi kesulitan serta pandai menggunakan keadaan alam sebagai keuntungan dalam pertahanan”.
Dia juga menulis bahwa Rakyat Minangkabau sudah mengenal senapan dan bahkan telah mampu memproduksinya sendiri. Senapan - senapan itu persis dengan yang Belanda miliki, modelnya pun hanya tertinggal setahun dua tahun.
Daerah yang terkenal sebagai produsen senapan adalah Sungai Yani dan Sungai Puar. Harga senapan kualitas satu berkisar antara 10-12 gulden dan naik tajam pada saat perang Padri menjadi 20-30 gulden. Peluru yang dipakai orang Minang pada saat itu adalah peluru timah dan biasanya dicampur dengan pecahan porselen, besi kecil dan beras.
Pembuatan mesiu dilakukan oleh para wanita Minang dengan campuran saltpeter (diperoleh dari kotoran hewan meskipun terdapat saltpeter alam tetapi orang-orang Minang tidak mengetahuinya), belerang yang diperoleh dari gunung berapi maupun sumber air panas dan arang. Semua bahan-bahan tersebut diramu dan dimasak diatas wajan besi diatas api. Sebuah proses yang sederhana dan sangat berbahaya tetapi jarang sekali terjadi kecelakaan.
Tidak diketahui secara pasti kapan pertama kali orang-orang Minang mengenal dan belajar membuat senapan. Ada dua kemungkinan asal transfer teknologi pembuatan senapan ini, yaitu:
Pertama adalah dari kekaisaran Ming di Cina pada kisaran tahun 1390 – 1527, karena pada akhir abad ke 14 dan awal abad ke 15, teknologi pembuatan mesiu dan senapan dari daratan Cina telah menyebar keseluruh semenajung Malaka dan Sumatera yang menyebabkan ekspansi besar-besaran kerajaan-kerajaan didaerah tersebut, jauh sebelum orang-orang Eropa datang memperkenalkan senapan mereka.
Kedua adalah dari kekaisaran Ottoman Turki. Invasi Portugis ke Laut India untuk menguasai jalur perdagangan lada pada tahun 1498 memaksa Kerajaan Aceh untuk meminta perlindungan militer pada Kekaisaran Ottoman Turki dengan membawa upeti dan sebuah surat pengakuan bahwa Kerajaan Aceh vassal pada Kekaisaran Ottoman dan sebagai balasan tahun 1520, Vezir Sinan Pasha mengirim ke Aceh meriam-meriam Turki dan Pedang.
Sultan Suleiman pada tahun 1537 mengirim armada lautnya ke Gujarat untuk menghancurkan angkatan laut Portugis dan pasukan ini tiba di Aceh untuk membantu Aceh dalam perang melawan Batak dan Portugis.
Sebuah surat dari Sultan Awaluddin pada tahun 1567 yang meminta bantuan militer dan Sultan Selim II bukan saja hanya mengirim bantuan militer tetapi juga beberapa ahli pembuat senapan dan meriam ke Aceh.
Meriam-meriam ini akhirnya juga sampai di Minangkabau dan dipakai secara aktif melawan Belanda dalam perang Padri. Sayangnya salah satu penyebab pudarnya kekaisaran Ottoman ini adalah karena menolak mengadopsi teknologi terbaru kedalam senapannya.
Reference:
Rusli Amrin, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, Perang Saudara yang ditunggangi Belanda, Orang Padri Sebagai Pejuang, halaman 399, Penerbit Sinar Harapan.
Sun Laicen, Military Technology Transfers from Ming China, Journal of Southeast Asian Studies (2003), Cambridge University Press.
Pelaminan Minang Site
Xin Hua News, Ancient Gun from Ming Dinasty found in China, 7 February 2001.
Marsden, William, History of Sumatera, London 1783
John and Anne Summerfield, Walk in Splendor: Ceremonial Dress and the Minangkabau, UCLA Fowler Museum of Cultural History Textile Series, No. 4, 1999
Anthony Reid, The Ottoman in Southeast Asia, Asian Research Institute, National University of Singapore, 2005.
Rashid (Turkish Foreign Minister) to Musurus (Ambassador to Britain and the Netherlands), 11 Aug. 1873, Woltring (ed.), Bescheiden Betreffende de Buitenlandse Politiek van Nederland, 2de Periode (The Hague: Nijhoff, 1962.), 1, p.612.
Anthony Reid, An Indonesian Frontier: Acehnese and other Histories of Sumatra (Singapore: University of Singapore Press, 2004). Pp.74-78.
Reid, An Indonesian Frontier, pp.79-87. Also Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce Vol. II (New Haven: Yale University Press, 1993), pp. 146-7.